Pages

Sabtu, 10 Maret 2012

RELIGI 9

Belajar dari Ibunda Ismail AS


Penulis : Riana Azzahra

Hajar dan bayinya telah ditinggalkan oleh Ibrahim di lembah itu. Sunyi kini menyergap kegersangan yang membakar. Yang ada hanya pasir dan cadas yang membara. Tak ada pepohonan tempat bernaung, tak terlihat air untuk menyambung hidup, tak tampak insan untuk berbagi kesah, kecuali bayi itu, Ismail. Dia kini mulai menangis keras karena lapar dan kehausan.
Maka Hajar pun berlari, mencoba mengais jejak air untuk menjawab tangis putra semata wayangnya. Ada dua bukit di sana. Dan dari ujung ke ujung coba ditelisiknya. Tak ada, sama sekali tak ada. Tapi dia terus mencari, berlari, bolak-balik tujuh kali. Mungkin dia tahu tak ada air di situ. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan kesungguhannya pada Allah, sebagaimana telah ia yakinkan pada suami, "Jika ini perintah Allah, Dia takkan pernah menyia-nyiakan kami."
Maka keajaiban itu memancar. Zam zam! Bukan. Bukan dari jalan yang dia susuri atau jejak-jejak yang dia torehkan di antara Shafa dan Marwa. Air itu justru muncul dari kaki Ismail yang menangis, yang haus. Dan Hajar pun takjub. Begitulah keajaiban datang. Terkadang tak terletak dalam ikhtiar-ikhtiar kita.
Mari kita belajar pada Hajar, bahwa makna kerja keras itu adalah menunjukkan kesungguhan kita pada Allah. Mari bekerja keras seperti Hajar dengan gigih, dengan yakin, bahwa Dia tidak akan menyia-nyiakan iman dan amal kita. Lalu biarkan kejaiban itu datang dari jalan yang tidak kita sangka atas iradahNya yang Mahakuasa. Dan biarpun keajaiban itu menenangkan hati ini dari arah manapun Dia kehendaki.
Dari buku 'Dalam Dekapan Ukhuwah' karya Salim A. Fillah

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright (c) 2010 MY SHADOW. Design by WPThemes Expert
Blogger Templates by Buy My Themes.